“Filsafat Kebenaran Dalam Matematika” Tingkat kebenaran ini
berbeda-beda wujud, sifat dan kualitasnya bahkan juga proses dan cara
terjadinya, disamping potensi subyek yang menyadarinya. Pendidikan pada umumnya
dan ilmu pengetahuan pada khususnya mengemban tugas utama untuk menemukan,
mengembangkan, menjelaskan, dan menyampaikan nilai-nilai kebenaran. Semua orang
yang berhasrat untuk mencintai kebenaran, bertindak sesuai dengan kebenaran.
Kebenaran adalah suatu nilai utama di dalam kehidupan manusia sebagai
nilai-nilai yang menjadi fungsi rohani manusia. Artinya sifat manusiawi atau
martabat kemanusiaan (human dignity)
selalu berusaha “memeluk” suatu kebenaran. Kebenaran sebagai ruang lingkup dan
obyek pikir manusia sudah lama menjadi penyelidikan manusia. Manusia sepanjang
sejarah kebudayaannya menyelidiki secara terus menerus apakah hakekat kebenaran
itu?Jika manusia mengerti dan memahami kebenaran, sifat asasinya terdorong pula
untuk melaksanakan kebenaran itu. Sebaliknya pengetahuan dan pemahaman tentang
kebenaran, tanpa melaksanakan kebenaran tersebut manusia akan mengalami
pertentangan batin, konflik spikologis. Menurut para ahli filsafat itu
bertingkat-tingkat bahkan tingkat-tingkat tersebut bersifat hirarkhis.
Kebenaran yang satu di bawah kebenaran yang lain tingkatan kualitasnya . Kebenaran dibedakan
menjadi tiga jenis, yaitu kebenaran epistemologis, kebenaran ontologis dan
kebenaran semantis. Kebenaran epistemologis adalah kebenaran yang berhubungan
dengan pengetahuan manusia. Kebenaran ontologis adalah kebenaran sebagai sifat
dasar yang melekat pada hakikat segala sesuatu yang ada atau diadakan. Sedangkan kebenaran semantis adalah kebenaran
yang terdapat serta melekat dalam tutur kata dan bahasa. Adapun teori-teori
kebenaran menurut filsafat adalah sebagai berikut : 1. Teori Korespondensi (The
Correspondence Theory of Truth)Masalah kebenaran
menurut teori ini hanyalah perbandingan antara realita obyek (informasi, fakta,
peristiwa, pendapat) dengan apa yang ditangkap oleh subjek (ide, kesan). Jika
ide atau kesan yang dihayati subjek (pribadi) sesuai dengan kenyataan, realita,
objek, maka sesuatu itu benar. Kebenaran adalah fidelity to objektive reality
(kesesuaian pikiran dengan kenyataan). Teori ini dianut oleh aliran realis yang
dipelopori oleh Plato, Aristotels dan Moore kemudian dikembangkan lebih lanjut
oleh Ibnu Sina, Thomas Aquinas, serta oleh Berrand Russel.2. Teori Konsistensi atau Koherensi Menurut teori
konsistensi untuk menetapkan suatu kebenaran bukanlah didasarkan atas hubungan
subyek dengan realitas obyek. Sebab apabila didasarkan atas hubungan subyek
(ide, kesan dan comprehension-nya)
dengan obyek, pastilah ada subyektivitasnya. Oleh karena itu pemahaman subyek
yang satu tentang sesuatu realitas akan mungkin berbeda dengan apa yang di
dalam pemahaman subyek lain.
Teori ini dipandang
sebagai teori ilmiah yaitu sebagai usaha yang sering dilakukan di dalam
penelitian pendidikan khsusunya di dalam bidang pengukuran pendidikan. Rumusan
kebenaran adalah turth is a sistematis
coherence dan truth is consistency.
Jika A = B dan B = C maka A = C.Logika matematik yang deduktif memakai teori kebenaran koherensi ini.
Logika ini menjelaskan bahwa kesimpulan akan benar, jika premis-premis yang
digunakan juga benar. Teori ini digunakan oleh aliran metafisikus rasional dan
idealis. Contoh dari teori ini adalah : Premis 1 : “Bilangan genap adalah
bilangan yang habis dibagi 2” dan Premis
2 : “4 habis dibagi 2” maka kesimpulannya adalah : “4 adalah bilangan genap”.3. Teori Pragmatisme Teori pragmatisme (the
pragmatic theory of truth) menganggap suatu pernyataan, teori atau dalil
itu memiliki kebenaran bila
memiliki kegunaan dan manfaat bagi kehidupan manusia. Salah satu contoh teori
ini dalam matematika adalah pada trigonometri pengukuran sudut berguna untuk
menentukan arah, kemiringan bidang atau mendesain dan membuat suatu bangun
ruang. Kaum pragmatis menggunakan kriteria kebenarannya dengan kegunaan (utility), dapat dikerjakan (workability) dan akibat yang memuaskan (satisfactor consequence). Oleh karena
itu, tidak ada kebenaran yang mutlak/ tetap, kebenarannya tergantung pada
manfaat dan akibatnya.
C. Matematika dalam Filsafat Kebenaran tentang angka nolRatusan tahun yang lalu, manusia hanya mengenal 9
lambang bilangan yakni 1, 2, 2, 3, 5, 6, 7, 8, dan 9. Kemudian, datang angka 0,
sehingga jumlah lambang bilangan menjadi 10 buah. Tidak diketahui siapa
pencipta bilangan 0, bukti sejarah hanya memperlihatkan bahwa bilangan 0
ditemukan pertama kali dalam zaman Mesir kuno. Waktu itu bilangan nol hanya
sebagai lambang. Dalam zaman modern, angka nol digunakan tidak saja sebagai
lambang, tetapi juga sebagai bilangan yang turut serta dalam operasi
matematika. Kini, penggunaan bilangan nol telah menyusup jauh ke dalam sendi
kehidupan manusia. Sistem berhitung tidak mungkin lagi mengabaikan kehadiran
bilangan nol, sekali pun bilangan nol itu membuat kekacauan logika. Mari kita
lihat. Pelajaran
tentang bilangan nol, dari sejak zaman dahulu sampai sekarang selalu
menimbulkan kebingungan bagi para pelajar dan mahasiswa, bahkan masyarakat
pengguna. Mengapa? Bukankah bilangan nol itu
mewakili sesuatu yang tidak ada dan yang tidak ada itu ada, yakni nol. Siapa
yang tidak bingung? Tiap kali bilangan nol muncul dalam pelajaran Matematika
selalu ada ide yang aneh. Seperti ide jika sesuatu yang ada dikalikan dengan 0
maka menjadi tidak adaa.
Aturan lain tentang nol adalah bahwa suatu
bilangan jika dibagi nol tidak didefinisikan. Maksudnya, bilangan berapa pun
tidak bisa dibagi dengan nol. Komputer yang canggih bagaimana pun akan mati
mendadak jika tiba-tiba bertemu dengan pembagi angka nol. Komputer memang
diperintahkan berhenti berpikir jika bertemu sang divisor nol. Bilangan disusun berdasarkan
hierarki menurut satu garis lurus. Pada titik awal adalah bilangan nol,
kemudian bilangan 1, 2, dan seterusnya. Bilangan yang lebih besar di sebelah
kanan dan bilangan yang lebih kecil di sebelah kiri. Semakin jauh ke kanan akan
semakin besar bilangan itu. Berdasarkan derajat hierarki (dan birokrasi
bilangan), seseorang jika berjalan dari titik 0 terus-menerus menuju angka yang
lebih besar ke kanan akan sampai pada bilangan yang tidak terhingga. Tetapi,
mungkin juga orang itu sampai pada titik 0 kembali.
Lain lagi. Jika seseorang berangkat dari nol, ia tidak mungkin sampai ke bilangan 4 tanpa melewati terlebih dahulu bilangan 1, 2, dan 3.Bilangan tidak hanya terdiri atas bilangan bulat, tetapi juga ada bilangan desimal antara lain dari 0,1; 0,01; 0,001; dan seterusnya sekuat-kuat kita bisa menyebutnya sampai sedemikian kecilnya. Karena sangat kecil tidak bisa lagi disebut atau tidak terhingga dan pada akhirnya dianggap nol saja. Tetapi, ide ini ternyata sempat membingungkan karena jika bilangan tidak terhingga kecilnya dianggap nol maka berarti nol adalah bilangan terkecil. .Berdasarkan konsep bilangan desimal dan kontinu, maka garis bilangan yang kita pakai ternyata tidak sesederhana itu karena antara dua bilangan selalu ada bilangan ke tiga. Jika seseorang melompat dari bilangan 1 ke bilangan 2, tetapi dengan syarat harus melompati terlebih dahulu ke bilangan desimal yang terdekat, Bisa saja angka 1/2. Tetapi, anda tidak boleh melompati ke angka 1/2 karena masih ada bilangan yang lebih kecil, yakni 1/4. Seterusnya selalu ada bilangan yang lebih dekat... yakni 0,1 lalu ada 0,01, 0,001, ..., 0,000001. demikian seterusnya, sehingga pada akhirnya bilangan yang paling dekat dengan angka 1 adalah bilangan yang demikian kecilnya sehingga dianggap saja nol. Karena bilangan terdekat adalah nol alias tidak ada, maka Anda tidak pernah bisa melompat ke bilangan 2.
Lain lagi. Jika seseorang berangkat dari nol, ia tidak mungkin sampai ke bilangan 4 tanpa melewati terlebih dahulu bilangan 1, 2, dan 3.Bilangan tidak hanya terdiri atas bilangan bulat, tetapi juga ada bilangan desimal antara lain dari 0,1; 0,01; 0,001; dan seterusnya sekuat-kuat kita bisa menyebutnya sampai sedemikian kecilnya. Karena sangat kecil tidak bisa lagi disebut atau tidak terhingga dan pada akhirnya dianggap nol saja. Tetapi, ide ini ternyata sempat membingungkan karena jika bilangan tidak terhingga kecilnya dianggap nol maka berarti nol adalah bilangan terkecil. .Berdasarkan konsep bilangan desimal dan kontinu, maka garis bilangan yang kita pakai ternyata tidak sesederhana itu karena antara dua bilangan selalu ada bilangan ke tiga. Jika seseorang melompat dari bilangan 1 ke bilangan 2, tetapi dengan syarat harus melompati terlebih dahulu ke bilangan desimal yang terdekat, Bisa saja angka 1/2. Tetapi, anda tidak boleh melompati ke angka 1/2 karena masih ada bilangan yang lebih kecil, yakni 1/4. Seterusnya selalu ada bilangan yang lebih dekat... yakni 0,1 lalu ada 0,01, 0,001, ..., 0,000001. demikian seterusnya, sehingga pada akhirnya bilangan yang paling dekat dengan angka 1 adalah bilangan yang demikian kecilnya sehingga dianggap saja nol. Karena bilangan terdekat adalah nol alias tidak ada, maka Anda tidak pernah bisa melompat ke bilangan 2.
By : Kikka.Chu
jangan lupa tinggalkan Commant yaa...
thanks for reading
Tidak ada komentar:
Posting Komentar